blog pemula yang berisi konten ilmu pengetahuan, berita terhangat dan hobi..

Jumat, 03 Desember 2010

e-conference

SINOPSIS



Internet dan email dengan cepat telah mengubah cara manusia berkomunikasi satu sama lain, baik secara pribadi dan profesional. Teknologi ini memperkecil jarak fisik dan memperbesar kemungkinan untuk diskusi diantara orang-orang yang tinggal di berbagai belahan dunia. Internet memungkinkan transmisi pesan dalam seketika dan memungkinkan penyelenggaraan konferensi dengan peserta dari seluruh dunia dengan biaya yang jauh lebih murah. Konferensi yang menggunakan internet dan email ini disebut konferensi elektronik (e-conference).

Akan tetapi, di era modern ini perusahaan-perusahaan di seluruh dunia masih enggan menggunakan metode e-conference tradisional, karena alasan jarak sosial yang besar. Metode e-conference tradisional adalah konferensi menggunaan audio atau video. Penggunanya dapat berpartisipasi melalui beberapa aplikasi software yang tersedia seperti Yahoo Messenger, MSN Messenger, Skype or Google Chat. Namun beberapa tahun belakangan ini, beberapa perusahaan mulai melirik penggunaan e-conference melalui situs www.secondlife.com.

Second life adalah dunia virtual 3D yang dibangun oleh penggunanya dan dihuni. Pada awalnya, situs yang didirikan oleh Philip Rosdale pada tahun 2003 ini perkembangannya tidak signifikan. Namun pada tahun 2010 telah dihuni oleh 3 juta lebih orang. Disini semua orang dapat saling bertemu, berinteraksi, dan membangun dunia dengan aturan yang sama seperti di dalam dunia nyata.

Perusahaan-perusahaan ternama seperti IBM, Dell, General Motors, Phillips, Toyota menggunakan dunia virtual untuk menampilkan produk mereka, kinerja deteksi dan konsep pemasaran, melalui "Second Life" untuk memperluas perusahaan e-commerce link website dan penjualan online.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Social Proximity oleh Polanyi (1994) dan Ron Boschma (2005), teori Virtual Trust oleh Philip Pettit (1995; 2004) dan Paul B. De Laat (2005), teori komunikasi oleh R. Buck dan C.A. VanLear (2002) serta menggunakan model komunikasi dari M.Shannon dan Weaver (1949) dan S-M-C-R Model dari Berlo (Thomlison, 2003)

Penelitian ini merupakan tipe penelitian kualitatif yang membahas mengenai 4 (empat) pertanyaan yang akan dibahas, yaitu mengenai pengertian E-conference, jarak sosial, pengaruh”Second Life” terhadap “Virtual Trust” dan bagaimana proses komunikasi dari kedua tipe e-conference baik itu tradisional maupun melalui “Second Life”. Ke-empat pertanyaan tersebut akan membawa peneliti menjawab topik utama dalam penelitian ini yaitu sejauh mana “Second Life” dapat mengurangi jarak sosial dengan menyelenggarakan e-conference.

Untuk dapat menjawab ke-empat pertanyaan diatas, peneliti menggunakan metode pengumpulan data berupa studi literatur, partisipasi observasi, dan wawancara. Sedangkan metode analisa data menggunakan deskriptif kualitatif dengan melalui 3 tahap yaitu reduksi data, penyajian data dan kesimpulan (Pawito, 2007)

Berdasarkan hasil penelitian, konferensi menggunakan Second Life memiliki beberapa keunggulan atau nilai tambah, diantaranya adalah peserta konferensi dapat hadir secara bersamaan di satu tempat pada satu waktu. Para peserta konferensi kemudian dapat mendeteksi kehadiran, ekspresi dan gerak tubuh secara serentak. Jadi e-konferensi melalui Second Life ini memungkinkan penggunanya untuk mengamati bagaimana orang bereaksi terhadap satu sama lain dan berinteraksi. Hal ini juga memberikan kesempatan yang lebih besar untuk datang ke bukti tercatat dari orang lain

Kelemahan dari e-konferensi tradisional yang menggunakan video bila dibandingkan dengan second life adalah bahwa sinyal-sinyal non verbal komunikasi berlalu begitu saja. Hal ini karena peserta konferensi tidak pernah dapat memantau bingkai video dari seluruh pengguna secara bersamaan.

Penelitian ini menyatakan bahwa jarak sosial sering disebut juga “Social Proximity”. Hubungan yang lebih kohesif secara sosial, maka proses pembelajaran akan semakin interaktif serta penampilan akan lebih inovatif. Menurut Ron Boschma (2005), social proximity didefinisikan dalam istilah hubungan sosial yang kohesif. Dalam definisinya, jarak sosial ada 2 komponen inti yaitu : Trust (kepecayaan) dan understanding (pemahaman). Hubungan akan kohesif secara sosial bila orang-orang yang berhubungan ini menyiratkan trust (kepercayaan) yang didasarkan pada persahabatan atau keakraban. Understanding (pemahaman) disini disebabkan adanya komunikasi yang baik, memahami emosi dan perasaaan sehingga jarak sosial akan berkurang daripada mereka yang tidak melakukan komunikasi.

Dalam pembahasan mengenai “Virtual Trust”, penggunaan avatar di dalam second life masih dipertanyakan sebagai komunikasi dengan orang sungguhan. Hal ini menyebabkan kritik dari Pettit (1995, 2004) mengenai “Trust” di internet terus berlanjut. Pettit menyatakan bahwa tidak akan pernah ada “Trust” di internet. Kemudian sumber-sumber yang dapat diakses melalui Second Life untuk menilai apakah seseorang bisa dianggap handal, ternyata tidak berlaku. Kehadiran fisik yang sebenarnya tidak dapat diamati dalam penggunaan Second Life. Di satu sisi, teori De Laat (2005) meyakini bahwa terdapat “Trust” di internet, karena adanya pasar virtual, kelompok tugas dan kelompok non tugas. Namun ternyata berdasarkan teori ini “Second Life” memiliki kekurangan. Hanya dalam hal peraturan sosial/arahan, “Second Life” menawarkan lingkungan yang lebih kaya, karena kehadiran visual lebih dapat dilihat.

Komponen berikutnya dari jarak sosial yaitu “Understanding” yang didefinisikan menggunakan model komunikasi “Shannon & Weaver” yaitu apabila ada “Understanding” total, maka ada kesetiaan total. Menggunakan Second Life berbeda dari tele-conference dengan menambahkan dimensi visual. Kemudian dengan model komunikasi “SMCR” (source-message-channel-receiver) oleh Berlo's terlihat bahwa “Second Life” merupakan channel (saluran) yang memiliki aspek (seeing, hearing, touching, smelling, tasting). Dalam konferensi melalui “Second Life” ini, terdapat dimensi visual. Lalu penambahan utama yang ditawarkan oleh “Second Life” sini adalah kesempatan untuk bersama di satu tempat pada satu waktu. Hal ini memungkinkan respon lebih cepat satu sama lain. Poin penting lainnya adalah bahwa sinyal komunikasi yang lebih non-verbal dapat diterima. Bila 70% dari komunikasi adalah melalui sinyal non-verbal, maka akan menjadi jelas bahwa dengan menambahkan sinyal non-verbal, pesan akan dikirim lebih baik, dan dengan demikian menerima “Understanding” (pemahaman) yang lebih tinggi.

Selain itu ada kemungkinan argumen yang mendukung bahwa penggunaan Second Life kurang dipengaruhi oleh distorsi yang ditemukan. Ada juga argumen mengapa penggunaan Second Life dapat menyebabkan distorsi lebih. Pengaruh Second Life dalam aspek ini sulit diprediksi. Memang sangat jelas bahwa penggunaan Second Life akan mempengaruhi sejauh mana distorsi menyebabkan gangguan dalam komunikasi. Hal ini akan menyebabkan penerimaan pesan yang lebih baik atau lebih buruk dan dengan demikian pemahaman yang lebih baik atau lebih buruk. Keyakinan tersebut akan meningkat jika avatar dipandang sebagai orang yang nyata, menurut definisi Pettit (1995, 2004). Jika kita menggunakan definisi De Laat (2005), kepercayaan dapat ditingkatkan, tapi lebih sedikit dan signifikan. “Understanding” (pemahaman) akan meningkat terutama disebabkan oleh peningkatan kemampuan untuk melihat sinyal non-verbal.

Jarak sosial sebagaimana yang terlah disebutkan diatas didefinisikan sebagai kombinasi dari “Trust” dan “Understanding”. Maka dari itu Second Life dapat membantu untuk mengurangi jarak sosial dalam melaksanakan e-konferensi. Namun apabila menggunakan Second Life, permasalahan yang menetap atau muncul adalah:

· Avatars dapat memiliki efek menyesatkan pada komunikasi.

· Pengguna tidak dapat memastikan bahwa mereka benar-benar berbicara dengan seseorang, karena seseorang bisa menyamar sebagai orang tersebut dan orang dapat mengambil avatar yang berbeda atau merubah penampilan.

· Ekspresi dan gerak tubuh yang ditambahkan ke dalam komunikasi dengan “Second Life” harus dimasukkan terpisah oleh pengguna. Ini juga berarti bahwa sinyal spontan non-verbal dalam komunikasi akan hilang.



Penelitian ini memiliki keterbatasan yang diakui peneliti cukup menyulitkan dalam penyajian data. Hal ini disebabkan kurangnya data empiris mengenai hasil perusahaan dalam menggunakan “Second Life” karena beberapa perusahaan yang ada di Indonesia masih dalam tahap awal dalam menggunakan teknologi ini. Penelitian ini juga belum menjelaskan mengenai sejauh mana penerimaan e-conferece dipengaruhi oleh budaya setempat. Seperti kita ketahui bahwa Indonesia merupakan negara berkembang dimana perkembangan teknologi masih berjalan lambat, tidak seperti di negara-negara maju. Peneliti juga menyayangkan kurangnya teori komunikasi yang secara spesifik mendukung komunikasi virtual, sehingga penggunaan model komunikasi tradisional dalam menganalisis proses komunikasi pada e-conference kurang mampu menyajikan hasil yang maksimal.
































Tidak ada komentar:

Posting Komentar