blog pemula yang berisi konten ilmu pengetahuan, berita terhangat dan hobi..

Selasa, 12 Mei 2009

Pemasaran dan Persepsi

Pemasaran dan Persepsi

Kalau Anda merasa bahwa diri Anda adalah manusia paling rasional, yang melihat sesuatu dari akal manusia, maka Anda salah besar. Di dunia marketing, tidak ada manusia yang rasional. Bahkan orang paling rasional pun menjadi tidak rasional pada saat berhadapan dengan dunia marketing.

Contohnya, banyak ibu rumah tangga memilih Rinso karena dianggap mencuci lebih bersih. Padahal ada banyak merek deterjen lain yang mencuci lebih bersih. Mengapa pula banyak orang menganggap Paramex lebih manjur dibandingkan obat lain, padahal komposisi kandungannya mirip-mirip dengan yang lain? Kedua merek ini bisa menjadi market leader (pemimpin pasar) sekalipun dari sisi kualitas maupun harga, ada yang lebih baik. Mengapa pula Avanza lebih laku dibandingkan Xenia, padahal Daihatsu (yang membuat Xenia) adalah pembuat mesin merek Avanza juga?

Jadi, manusia memang tidak bisa (atau sempat) mengevaluasi terlebih dahulu semua produk yang akan dibelinya. Begitu banyak informasi yang masuk sehingga membuat manusia mengandalkan persepsinya, kemauannya sendiri dan bahkan emosinya sendiri. Bersyukurlah kita karena manusia mengandalkan persepsi untuk membeli! Kalau mereka semua mengandalkan rasio maka hanya segelintir merek di dunia ini yang bisa bertahan.

Merek A bisa bertahan karena mengandalkan sekelompok orang yang memiliki persepsi yang baik terhadap merek A. Demikian sebaliknya, merek B bisa bertahan karena menyasar sekelompok orang lain yang memiliki persepsi yang baik terhadap merek B. Kalau semua orang bisa mengevaluasi dan melihat bahwa merek A memang memiliki kualitas yang lebih baik (dan bahkan harga yang lebih murah), maka semua orang akan memilih merek A.

Karena persepsi yang berbedalah yang membuat setiap orang punya pilihan yang berbeda. Persepsi adalah sesuatu yang dinilai atau dianggap secara subyekif oleh seseorang. Karena subyektivitas inilah yang membuat persepsi manusia bisa salah (dan ternyata kebanyakan juga salah!). Produk yang lebih jelek bisa dipersepsi lebih bagus dibandingkan yang lain.

Lalu apa sebenarnya yang membentuk persepsi? Lingkungan budaya, sosial, politik, ekonomi, demografis sampai gaya hidup bisa membentuk persepsi konsumen. Masyarakat perkotaan mungkin memilih bank yang terlihat megah karena dianggap memiliki aset banyak sehingga tidak akan bangkrut. Sementara masyarakat pedesaan mungkin lebih memilih bank yang bersahaja namun bersahabat.

Masyarakat Indonesia yang sebagian besar adalah umat muslim selalu mengaitkan Islam dengan warna hijau. Itulah sebabnya hampir semua produk yang bernuansa Islam biasanya mempergunakan warna hijau. Sementara hijau bisa diartikan orang lain sebagai produk ramah lingkungan.

Orang-orang yang cenderung berhaluan liberal menganggap sensualitas adalah bagian dari hak asasi manusia, sementara orang yang menganut paham konservatif melihatnya sebagai ketidaksenonohan. Ketika saya melakukan survei iklan di enam kota besar di Indonesia, ternyata mayoritas responden yang disurvei menganggap bahwa iklan Lux adalah iklan yang sensual. Padahal kalau saya melakukan observasi ke orang-orang iklan, semuanya mempertanyakan dimanakah letak sensualitasnya, sambil memberi contoh iklan-iklan lain yang lebih banyak memamerkan paha dan bagian sensitif wanita lainnya.

Unsur demografis seperti jenis kelamin, usia, pendapatan dan lain-lain bisa mempengaruhi persepsi. Semakin tua misalnya, persepsi kita makin berubah. Dulu ketika masih kanak-kanak, kita menyukai produk dengan aneka warna. Semakin beraneka warna semakin menarik. Ketika dewasa, membeli produk yang terlalu penuh dengan aneka warna kelihatan ”norak”.

Ada orang-orang yang menyukai gaya hidup berpetualang. Mereka menganggap mobil yang baik adalah mobil dengan kapasitas silinder besar dan mampu melewati medan sulit apapun. Sebaliknya orang yang gaya hidupnya family oriented menganggap mobil yang baik adalah mobil yang irit bahan bakar dan memuat banyak penumpang.

Itulah sebabnya jika Anda ingin menjadi seorang yang bekerja di dunia marketing, jangan pernah berpikir bahwa konsumen Anda adalah orang yang rasional. Banyak orang yang memiliki produk yang bagus merasa bahwa produknya akan laris. Padahal, meyakinkan orang bahwa produknya lebih bagus dari yang lain adalah pekerjaan yang tidak mudah. Apalagi jika persepsi konsumen sudah lebih kuat pada produk yang lain. Kalau Anda merasa punya kopi yang enak, apakah Anda bisa mengalahkan kopi kapal api, yang memiliki slogan ”jelas lebih enak”? Atau, jika Anda bisa memproduksi mobil yang andal apakah Anda bisa mengalahkan Kijang yang selama puluhan tahun terkenal karena ”bandelnya”?

Tapi anda jangan berputus asa, karena sulit bukan berarti tidak mungkin dilakukan. Persepsi ternyata juga bisa berubah. Semuanya tergantung pada bagaimana kita memberikan informasi kepada konsumen. Persepsi dibentuk dan berubah karena informasi yang masuk ke kepala konsumen. Itulah sebabnya marketer sering terlibat dalam ”perang iklan” untuk memasukkan (menjejalkan) informasi ke memori konsumen.

Seperti yang kita lihat yang terjadi pada perang kartu selular di Indonesia. Semua berusaha meyakinkan konsumen bahwa tarifnya lebih murah dibandingkan merek yang lain. Bahkan merek yang tarifnya sebenarnya lebih mahal pun beriklan bahwa mereknya lebih murah. Mereka semua bermain dengan persepsi konsumen. Jika tarifnya dihitung per menit lebih mahal, mereka merubahnya menjadi per detik. Sebagai konsumen seringkali Anda mudah tergoda membeli karena harga murah. Bayangkan jika ada tarif selular seharga 300 rupiah per menit sementara ada penawaran dari kompetitornya sebesar 6 rupiah per detik, mana yang akan Anda pilih?

Sebagian besar konsumen mungkin akan memilih yang kedua karena terkesan lebih murah. Padahal kalau Anda bicara selama satu menit, Anda harus mengeluarkan uang 360 rupiah, yang artinya nilainya lebih besar. Kondisi ini yang sering saya sebut sebagai price illusion, atau ilusi harga. Konsumen merasa lebih cerdas karena memilih yang sebesar 6 rupiah, padahal mereka belum tentu berpikir rasional.

Namun apakah salah jika kita mengatakan bahwa bahwa 6 rupiah per detik lebih menguntungkan? Bisa jadi ya. Jika pemasar yang pertama selalu membulatkan tarifnya ke menit dan Anda selalu menelepon di bawah 50 detik, Anda mengeluarkan uang yang lebih sedikit. Jadi, semua tergantung sudut pandang mana kita melihat.

Itulah sebabnya, dunia marketing adalah dunia yang relatif. Jangan jadi orang marketing kalau hanya berpikir secara absolut. Di dunia marketing tidak ada kebenaran absolut, karena semuanya bergantung kepada persepsi!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar